Tujuh Trik dan Tips Tinggal Bareng Mertua Ala Akak Yunyits


Digigit semut adalah sebuah kejadian di mana seekor semut menggigitmu. Ini memang apodiktik—keniscayaan. Akan tetapi terasa hambar jika disampaikan. Sebenarnya, kalimat pertama itu dimaksudkan sebagai gambaran akan bagaimana kisah ini nantinya. Benar adanya, niscaya kejadiannya, tapi kurang penting untuk dikisahkan. Walau demikian, aku percaya, bagi seseorang yang meletakkan sesuatu yang tak penting di atas segalanya, hal semacam kisah ini pasti penting baginya. Kesimpulannya, cerita ini diperuntukkan bagi paradoks-paradoks semacam itu. Lihatlah kisah ini dari sudut pandang mementingkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, seperti yang terilhami dari nilai-nilai Pancasila. Oke, penjelasan ini bisa di-skip, karena tidak terlalu koheren dengan pokok bahasan—bahkan tidak koheren dengan penjelasan sebelumnya.
          Yang menjadi perhatianku baru-baru ini adalah sosok yang disebut-sebut sebagai ‘momok’ menakutkan bagi orang yang telah menikah. Mereka menyebutnya dengan MERTUA. Ada apa dengan mertua? Pernahkah Anda menyaksikan kejadian kehancuran sebuah rumah tangga tersebab mertua? Jawabnya, sering. Pernahkah Anda melihat pertikaian antara menantu dan mertua—utamanya antara menantu yang perempuan dan mertuanya yang perempuan pula? Mungkin sering juga. Atau pernahkah, Anda berlari ke bukit, lalu termenung di atas batu sambil memikirkan, mengapa ada tanaman yang bernama “LIDAH MERTUA”? Dan deskripsi tanaman itu memiliki daun keras panjang-panjang dan runcing? Sebegitu runcingkah lidah mertua hingga mampu menebas perasaanmu menjadi potongan kecil-kecil, wahai para menantu? Mungkin tidak ada yang pernah memikirkan ini sambil duduk di atas batu sebuah bukit. Tapi, aku yakin pernah terbetik di benak kalian masing-masing akan hal itu meskipun sambil lalu.

          
Nah, pada kenyataannya, memang masalah menantu VS mertua ini masih menjadi konflik yang banyak terjadi di muka bumi ini. Sebenarnya, aku sudah lama ingin membahas ini. Tetapi kuurungkan terus karena ini isu yang sensitif. Namun, jika aku tidak menuliskan ini, otakku kasihan. Dia bisa dipenuhi bisikan-bisikan dan jika sudah overload bisa meledak. Kau tidak ingin, kan menemukan manusia yang otaknya meledak? Lalu dia jalan ke sana ke sini, menerormu dan menghantui tidur-tidurmu. Baiklah, maaf, aku sudah kelewatan garingnya. Kriuuuk!!! Sudah kumakan kegaringan itu. Tambah garing, Wak! -_- Baiklah! Baiklah! It’s getting worst.
Beberapa minggu yang lalu, saat surfing di medsos Facebook, ada teman membagikan sebuah kisah—entah hoaks, atau karangan fiksi tapi katanya kisah nyata—tentang menantu perempuan yang tersiksa tinggal dengan mertua. Wanita itu akhirnya meninggal dunia dalam kondisi tertekan. Walau di akhir kisah, agak rancu, karena entah bagaimana tiba-tiba suaminya mengaitkan kematian istrinya disebabkan tidak memenuhi keinginan istrinya itu untuk pindah ke rumah sendiri. Padahal penulisnya tidak pernah memberikan petunjuk kalau suaminya tahu istrinya setertekan itu dalam tulisan tersebut. Yang tahu hanya pembaca. Jadi suaminya tahu dari mana? Kan, istrinya sudah meninggal. Dia—dituliskan—menyadari hal itu ketika istrinya sudah meninggal. Kecuali suaminya itu berpikiran buruk tentang kematian istrinya lalu mengait-ngaitkan kepada kondisi tertentu. Atau jangan-jangan suaminya ngobrol sama pembaca—secara kontekstual merupakan elemen satu-satunya yang tahu tentang hal itu. Bingung? Sama. FYI, dikisahkan di dalam postingan itu, istrinya meninggal karena kelelahan dan hipotermia. Jadi, menurutku, pria itu menyimpulkan penyebab kematian istrinya karena tertekan tinggal dengan mertua, berdasarkan hipotesa diri sendiri. Penulis cerita itu di mana pun kau berada, kisah itu lumayan menyentuh, tapi kau agak kecolongan sebuah ‘logika’ yang sebenarnya sangat penting. Lain kali berhati-hatilah.
Terlepas dari kritikan untuk penulis yang kurang cermat, mau nggak mau itu mempengaruhi pemikiranku tentang konsep LIVING WITH MERTUA. Temanku yang menge-share itu pun tampaknya sangat terpengaruh banget sekali amat sangat. Dia menambahkan caption sedih dan mencolek suaminya. Mungkin sebagai isyarat alias kode keras bagi suaminya, kalau dia sedang tertekan karena tak tahan tinggal dengan mertuanya.
Lalu, tak lama berselang, aku melihat kemballi meme dengan tulisan mengangkat tentang mertua vs menantu (lagi). Katanya di meme itu, perempuan yang tinggal dengan mertuanya rentan terserang penyakit jantung!
Alamak! Itu bahaya sekali. Sebab aku seolah ditunjuk (lagi). Kenapa? Karena aku seorang wanita yang kini tinggal dengan mertuanya.  
          Lengkap sudah. Pikiran kacauku lantas menyimpulkan, berarti aku adalah seorang wanita merana, yang hatinya berpotensi diiris-iris lidah mertua, yang jantungnya rentan penyakitan dan yang akan cepat meninggal dunia. Kalaulah pikiran kacauku ini kupercaya, aku akan benar-benar menjadi wanita malang tiada berguna, mati pula. Syukurlah, pikiran warasku kembali menguasai.
          Pertama, tidak hanya mertua yang bisa mengiris-iris hatimu. Hamish Daud bakal nikah sama Raisa juga bisa berpotensi. Kedua, bukan hanya mertua yang bisa membuat jantungmu rentan penyakit. Santan, minyak, makanan berkolesterol dan kegemukan juga bisa. Dan yang terakhir, kematian adalah apodiktik! Tanyakan malaikat maut kalau tak percaya. Sedang membaca ini pun kau bisa mati! Mau coba? *telepon malaikat maut* Hihihi.
          Lantas, apa, sih persoalan sebenarnya hingga masalah ini menjadi masalah purba yang tiada habis-habisnya menyerang keutuhan rumah tangga umat manusia? Alamaaak!!! Sedap bener bahasanya. Kek orang pinter aja. :D
          Aku akan membahasnya dari sudut pandang sendiri, sebagai seorang istri yang tinggal dengan mertua. Aku berjanji, tidak akan bertingkah seperti perempuan hebat yang sok tahu, sok bijak dan sok baik. Aku akan bicara seadanya.
Kondisi jiwaku sendiri fluktuatif. Terkadang mau menerima, lebih banyak memberontak. Begitu pun hubungan dengan ibu mertuaku, lebih fluktuatif lagi. Wajar, sama suami juga sering berselisih paham. Jangankan suami, sama adik kandung, kakak kandung, bapak kandung, ibu kandung juga sering berselisih paham, bukan? Apalagi ibu mertua, yang notabene baru beberapa tahun belakangan saling mengenal.
          Secara singkat, alasan kami tinggal dengan mertua adalah ibu mertuaku yang meminta. Dia seorang diri di rumahnya. Bapak mertua sudah berpulang beberapa tahun yang lalu. Pada masa itu, kondisi secara faktual dan didukung oleh satu dan lain hal, kami yang lebih pantas pindah ke rumah mertua daripada mertua yang pindah ke rumah kami. Maka, sudah setahunlah aku satu atap dengan mertua.
          Tahap-tahap penyesuaian pun terlalui. Beberapa dilalui dengan santai, dan banyak waktu dilalui dengan cukup berat. Kesimpulan yang aku ambil dari setahun tinggal dengan mertua adalah dan mungkin bisa kau praktekkan jika kau sedang berada dalam masa-masa suram bersama ibu mertua—khususnya:
  1. Berpikiran positif
Sengaja hal ini kuletakkan dalam point pertama. Karena aku menyadari dan banyak artikel pun memaparkan betapa berpengaruhnya kekuatan pikiran manusia itu terhadap dirinya sendiri. Bahkan seseorang dengan penyakit parah sekalipun, bisa tersembuhkan dengan kekuatan sugesti dari pikiran. Untuk teori dari ahli-ahli, mungkin kau bisa googling sendiri. Bisa tentang hal-hal yang berhubungan dengan psikologi manusia dan semacamnya. Yang penting, yakini bahwa pikiran yang mengatur segalanya. Jadi biarkan dia tetap dalam mode positif. Susah? Ya, iyalah! Sangat!  Makanya pikiran itu harus dimuati oleh hal yang kedua.

2. Landasan Agama
Pengetahuan tentang dasar-dasar agama—jika kita mengaku beragama—sangat penting. Mari kita mulai dengan yang mudah dipahami saja.

Diriwayatkan bahwa Aisyah Ra bertanya kepada Rasulullah Saw, ”Siapakah yang berhak terhadap seorang wanita?” Rasulullah menjawab, “Suaminya” (apabila sudah menikah). Aisyah Ra bertanya lagi, ”Siapakah yang berhak terhadap seorang laki-laki?” Rasulullah menjawab, “Ibunya” (HR. Muslim).

Aku selalu berusaha menanamkan di benakku, bahwa hadis sahih ini mengatakan bahwa laki-laki itu masih menjadi hak ibunya meskipun dia sudah menikah. Sementara hak atas diriku, ya suamiku. Susah, ya mengamalkan hadis ini? Memang! Untuk keperluan itulah diciptakan setan, menggoda manusia. Baiklah, biasanya untuk membantu diriku sendiri memperkuat usahaku dalam mengamalkan ini, aku ambil salah satu hadis lainnya.

Jika seorang wanita menunaikan salat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”. (HR. Ahmad dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany).

See? Surga, Coy!!! Siapa yang nggak memimpikan itu? Oke, baiklah, jika diriku lebih banyak dikuasai setan dan tidak lagi sempat mengingat hadis-hadis ini karena dimakan amarah, biasanya otakku mencari ketenangan di jalan lain, seperti berikut ini,

3. Saling memahami, tingkatkan sikap toleransi
Ingatlah, bahwa no body’s perfect. Tidak ada manusia yang sempurna. Aku manusia? Ya, aku merasa manusia. Berarti aku tidak sempurna. Mertua kita manusia? Tentu! Berarti dia juga tidak sempurna. Tidak mungkin dia bisa bertindak seperti yang kita inginkan. Aku dan mertua, dibesarkan dalam budaya dan lingkungan yang berbeda. Perspektif kami berdua dalam memandang hal yang sama tentu berbeda. Jika ini diperuncing dengan sikap intoleran. Hancur negeri ini, Man!!! Terima saja apa adanya, seperti dia juga mau menerima—sedikit banyaknya—kekurangan kita. Seperti dia menerima tata cara/gaya hidup kita yang berbeda dengannya. Susah menyatukannya? Komunikasi mungkin bisa menjembatani. Bicarakan baik-baik. Tidak bisa juga? Masih ada juga hal menganggu lainnya. Aku beri contoh bagaimana setan pernah mengganggu pikiranku.

4. Kau merawat mertua, sementara orangtua kandungmu berada jauh dan tidak bisa setiap hari berjumpa denganmu.
Sampai sebegitukah setan mempengaruhimu? Iya! Mungkin setiap kasus para menantu beda. Tapi aku tidak bisa membahas kasus orang lain. Jadi, aku contohkan saja dengan kasusku sendiri.
Jika bisikan ini datang menghantui, aku langsung menyadarkan diri dengan cara berbicara pada diri sendiri, “Segala macam bentuk kebaikan yang kau lakukan di dunia ini, akan mengalir pada orangtuamu! Jadi jika kau merawat dan menjaga mertuamu dengan baik, kebaikan itu juga untuk orangtuamu. Jika tanganmu tak sampai menjaga orangtuamu, maka atas kebaikanmu itu, Allah-lah yang akan menjaga orangtuamu di sana. Masih ragu dengan perlindungan Allah?”

5. Take some fresh air
Masih juga memendam amarah, merasa diri paling tertekan? Depresi? Tidak bisa bebas berekspresi mengatur rumah tangga karena dibayang-bayangi the power of mertua? Pernahkah aku mengalaminya? SERING, BRO! Seriiing. Apalagi ketika kondisi kejiwaan sedang nggak stabil (ngeri amat). Hmmm, dunia jadi sangat mengerikan. Kalau caraku mengenyahkannya, ngajak suami jalan-jalan, cerita panjang lebar, sampai nangis-nangis pun nggak masalah. Udah agak reda, pulang. Atau berlibur ke mana, yang penting keluar dari rumah.
  
6. Mulutmu harimaumu
Kau tidak senang kata-kata kasar tertuju padamu? Sama, mertua juga nggak senang. Maka usahakan, reeem bener-bener itu mulut. Saling menjaga. Nggak bisa juga karena mertuamu terlalu cerewet dan suka ngomong kasar? Kembalilah pada poin-pon sebelumnya.




7. Kehidupan ini bagai mata rantai tak terpisahkan.
Aku sering mencoba merenungi ini. Aku menantu, suamiku juga menantu bagi ibuku? Bagaimana jika suamiku berperilaku tak baik pada orangtuaku? Tentu aku sedih. Aku perempuan, yang bisa jadi di masa yang akan datang akan menjadi seorang mertua bagi seseorang. Apakah aku mau diperlakukan tidak baik oleh menantuku? Bagaimana jika menantuku itu menguasai anak laki-lakiku? Tentu aku juga akan merasa sedih. Sesimpel itu. Biasanya aku akan merasa cukup tenang.

Pisah rumah???
Untuk kasus-kasus tertentu pisah rumah mungkin menjadi solusi paling akhir dan terbaik. Akan tetapi, untuk contoh kasus sepertiku, itu bukan pilihan. Karena mertuaku akan seorang diri, jika kami tinggalkan. Ditambah lagi ada penyebab lain yang tak bisa dipaparkan di sini.


Aku menuliskan ini bagi para menantu yang tidak punya pilihan lain sepertiku. Bukan untuk para menantu yang punya pilihan pisah rumah, bangun rumah tangga sendiri tanpa campur tangan mertua atau orangtua. Kalau yang itu, sih nggak perlu baca yang ini. Pindah rumah saja, selesai! Dan pasti ini harapan semua orang.
Nah, bagi kalian yang memang harus tinggal dengan mertua, jangan takut, kau nggak akan kehilangan kebahagiaan, kebahagiaan kita sendiri yang ciptakan. Itu nggak bisa didikte, masing-masing individu punya cara sendiri. Jangan takut terkena penyakit jantung, jangan takut cepat mati! Bisa jadi itu tulisan konspirasi oleh orang-orang yang mungkin tidak suka dengan bertapa hebatnya Islam mengatur kehidupan bahkan sampai ke dalam hal kehidupan rumah tangga. Who knows? Dunia sekarang gila, kan?. Ingatlah, bagi umat muslim pegangan kita hanya dua Alquran dan hadis.
Aku terdengar sok bijak, ya? Hmm, jujur pada kenyataannya, aku juga masih berusaha menjadi istri dan menantu yang baik. Pada kenyataannya pula, aku masih jauh dari kata baik. Aku hanya mencoba sharing pengalamanku, saat aku berada dalam masa-masa suram dan bagaimana caraku membuat diriku bangkit. Kau punya cara lain? Tak masalah. Lakukan yang menurutmu benar! Semoga berhasil! Semoga KITA berhasil.

Salam, Persatuan Menantu-menantu Wanita Indonesia yang Tinggal dengan Mertua.

Medan, 09 Agustus 2017
         

          

Comments

Popular Posts